Pendidikan di Indonesia
Kasus kekerasan yang terjadi pada siswa SMA 6 jakarta terhadap wartawan membuat kita terhenyak. Kejadian itu merupakan bukti bahwa kekerasan masih menjadi bahaya laten di tengah-tengah dunia pendidikan kita.
Sebenarnya soal tawuran remaja (anak sekolah) merupakan masalah klasik, berkesinambungan, dan kompleks. Peristiwa-peristiwa ini hanya puncak gunung es. Tak hanya di era 1960-an manakala dikenal geng-geng yang melegenda, seperti Siliwangi dan Berlan, geng-geng remaja saat ini pun tak kalah melemparkan aksi yang tak jarang meminta korban jiwa atau luka. Hal ini seharusnya membuat kita khawatir karena dampak kekerasan/tawuran begitu serius.
Tawuran siswa bukan sekadar tanggung jawab sekolah karena peristiwa itu bisa terjadi di luar sekolah, yaitu saat mereka pulang sekolah. Dalam konteks sekolah, tentu tidak mudah menghilangkan budaya kekerasan mengingat beragam faktor yang melingkupinya. Faktor keluarga dan faktor sosial lainnya akan sangat sulit dikontrol oleh pihak sekolah. Untuk itu, kontribusi semua pihak amat berintegrasi.
Mungkin Indonesia menganggap tawuran belum menjadi masalah sosial sehingga penanganan kejahatan di sekolah menjadi subyek hukum kriminal biasa. Artinya, penanganannya disamakan dengan kriminal pada umumnya. Jika tindakan kriminal fisik sudah menjadi kenyataan kekerasan, aparat baru turun tangan.
Kebiasaan tawuran bisa jadi merupakan dampak dari pembiaran berbagai praktik kekerasan yang selama ini terjadi di lingkungan sekolah. Penelitian yang digelar Yayasan Semai Jiwa terhadap berbagai kasus kekerasan (bullying) di sekolah-sekolah di Indonesia memaparkan bahwa kasus-kasus bullying sebenarnya sudah mengakar dan membudaya di lingkungan semua jenjang pendidikan.
Sayangnya, guru dan pendidik di Indonesia belum menyadari dampak negatif bullying yang bisa berbentuk penggencetan, olok-olok antarteman, dan sebagainya. Guru masih menganggap bullying sebagai hal biasa dalam kehidupan remaja. Bahkan, dalam format acara tertentu sudah dianggap legal oleh instansi pendidikan yang bersangkutan. Kalaupun ada yang peduli, tapi peran guru seolah-olah tidak kuasa untuk meredam tindakan-tindakan bullying yang dilakukan oleh muridnya pada saat acara-acara yang dikelola muridnya sendiri.
Sebagai contoh acara yang rutin yang resmi dilaksanakan di lingkungan pendidikan tapi berbau bullying adalah acara rekrutmen organisasi ekstrakurikuler, masa orientasi siswa, atau bentuk-bentuk acara lainnya yang berbau perpeloncoan dari jenjang sekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Pembiaran inilah yang bisa jadi berdampak pada jiwa tawuran yang sewaktu-waktu mudah tersulut jika ada rangsangan. Pada kasus siswa SMAN 6 Jakarta, aksi wartawan yang digelar di depan sekolah merupakan rangsangan yang menyulut darah tawuran para siswa.
Maraknya kekerasan/tawuran yang bersifat destruktif dilihat dari sudut pandang lain juga merupakan wujud kekagalan dari pendidikan kita. Betapa para pelajar kita tidak cukup hanya diajari mata pelajaran tertentu, atau semata didorong hanya untuk lulus ujian. Pelajar dan remaja membutuhkan sesuatu yang lebih, yakni moral dan etika secara practical.
Karenanya, pendidikan harus kembali benar-benar diarahkan untuk tidak sekedar menggenjot capaian-capaian pada aspek kognitif semata, namun harus diseimbangkan dengan aspek afeksi dan psikomotorik. Nilai bagus memang penting, namun tentu tidak hanya itu. Pengajaran dan pemantauan terhadap budi pekerti pelajar juga tidak kalah penting untuk dilakukan secara intensif.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Kesiapan itu tentu bukan semata pada wilayah capaian nilai formal. Maka, sekolah harus mampu melihat dan memperlakukan pelajar sebagai pribadi yang utuh. Tidak pas kalau sekolah hanya menuntut siswanya untuk belajar dan belajar untuk memenuhi targetan angka-angka. Karena, para pelajar harus dikenalkan untuk mempelajari kehidupan yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin kondisi tertekan akan melahirkan generasi yang cerdas dan tanggap lingkungan? Kalau hal semacam ini akan tetap dipertahankan, maka kita patut khawatir bila kasus-kasus tawuran siswa akan semakin marak.
Untuk mengantisipasi sejak dini maraknya aksi kekerasan, maka langkah pertama adalah membersihkan budaya kekerasan di lingkungan pendidikan, baik yang dilakukan oleh pelaku internal maupun eksternal sekolah. Peranan guru dan para orangtua sangat dituntut di sini.
Jika ditelusuri, sangat banyak faktor penyebab remaja terjerumus ke dalam kawanan geng-geng pembuat onar. Salah satunya karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua akibat terlalu sibuk dengan pekerjaan. Perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya diekspresikan dalam bentuk materi saja. Padahal materi tidak dapat mengganti dahaga mereka akan kasih sayang dan perhatian orangtua.
Faktor lain yang juga ikut berperan adalah kurangnya sarana atau media bagi mereka untuk mengaktualisasikan dirinya secara positif. Dhus, mereka melampiaskannya dengan aksi ugal-ugalan, apakah ngebut di jalanan sebagaimana dijumpai pada geng motor ataupun melakukan kekerasan fisik/tawuran sebagaimana dijumpai pada kasus di SMAN 6.
Untuk mengakhiri kebiasaan kekerasan/tawuran di kalangan siswa, serangkaian upaya harus dilakukan. Salah satunya dengan membenahi peran orangtua dalam memberikan kepedulian dan kasih sayang. Selain itu, perlu upaya penanaman nilai-nilai agama terutama tentang akhlak (moral dan etika). Dengan begitu anak akan mengetahui mana yang layak dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Tanggapan :
Permasalahan dunia pendidikan yang terjadi di Negara kita cukup lama hingga kini belum dapat terselesaikan. Ini membuat kita terus berfikir dan menganalisa sebab dan faktor yang terjadi di dunia pendidikan. Pemerintah seharusnya lebih sigap dan progresif menangani permasalahan yang terjadi di Negara ini, terutama masalah pendidikan. Program-program pemerintah yang telah dibuat dan dijalankan saat ini perlu di kaji ulang, apa saja program yang belum dapat maksimal dijalankan atau belum dapat maksimal berhasil. Program yang belum maksimal yang dijalankan pemerintahan ini menurut saya perlu ada perubahab dan tambahan-tambahan program agar permasalahan di bidang pendidikan ini lebih di perkecil. Misalkan dengan memilah guru pengajar yang lebih professional mengajar. Tidak dengan menilai gelar pendidikan guru tersebut melainkan bagaimana cara guru tersebut mengajar dengan baik terhadap generasi muda di Negara kita. Adapun program yang bisa dijalankan pemerintah dan dilaksanakan masyarakat yaitu dengan dibuat standar sistem peraturan yang displin yang dibuat pemerintah untuk berlakukan untuk sekolah-sekolah yang berada di indonesia untuk melaksanakan program tersebut agar akhlak dan moral generasi muda bisa lebih baik. Dan banyak lagi program-program yang mesti dilaksanakan pemerintah , baik dibuat oleh pemerintah sendiri maupun bermusyawarah dengan masyarakat melalui opini-opini masyarakat itu sendiri. Dengan begitu masalah dibidang pendidikan akan kecil terjadi dan apa yang Negara kita mimpikan di bidang pendidikan dapat tercapai.
Sumber: Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=287325
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.